Pandemi pandemi Covid-19 ternyata menghadirkan berkah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Di berada dalam ketidakpastian sebagai dampak pandemi itu, Indonesia berhasil mencetak surplus neraca perdagangan sejak bulan Mei 2020.
Surplus perdagangan yang disebutkan hingga bulan November 2023 masih tetap memperlihatkan terjaga, selama 43 bulan berturut-turut. Surplus perdagangan yang dimaksud seharusnya menambah secara signifikan cadangan devisa yang tercatat di area Bank Indonesia (BI).
Namun, kenyataan berkata lain. Cadangan devisa yang dimaksud relatif tidaklah berbagai berubah apabila dibandingkan masa sebelum pandemi.
Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir bulan November 2023 sebesar US$138 miliar. Tidak sejumlah berubah dibandingkan dengan kedudukan akhir bulan Mei 2020 sebesar US$130,5 miliar, pada waktu pertama kalinya Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan.
Cadangan devisa, selain dipengaruhi oleh neraca perdagangan, juga dipengaruhi oleh proses modal kemudian finansial. Hal ini tercermin pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang tersebut dirilis oleh BI setiap kuartal.
Membaiknya arus modal asing pada bursa obligasi negara selama tahun 2023 bukan dapat membantu untuk menciptakan surplus yang dimaksud berkelanjutan pada NPI. Padahal surplus NPI yang dimaksud berkelanjutan akan menciptakan Indonesia mempunyai ketahanan sektor eksternal yang digunakan lebih lanjut kuat.
Penerbitan Instrumen Baru di area BI
NPI yang tersebut kembali mengalami defisit pada kuartal II tahun ini mulai mengusik BI sebagai regulator sektor moneter. Para eksportir Indonesia diperkirakan menyimpan devisa hasil ekspor di area luar negeri.
Tingginya imbal hasil yang digunakan ditawarkan dan juga kemudahan operasi menggunakan valas menjadi alasan. Untuk mengatasi hal tersebut, BI akhirnya menerbitkan instrumen pertamanya, yakni instrumen penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Instrumen ini diterbitkan dengan dasar Peraturan otoritas (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Pertemuan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Narasumber Daya Alam. Eksportir yang digunakan memiliki nilai ekspor pada Pemberitahuan Pabean Ekspor (PPE) minimal 250 ribu dolar Amerika Serikat atau setara, diwajibkan untuk menempatkan DHE yang digunakan dimilikinya pada akun khusus.
Dana yang digunakan tersedia pada tabungan khusus yang disebutkan sebesar minimal 30% wajib dimasukkan ke pangsa keuangan dalam Indonesia paling singkat 3 bulan. Instrument DHE ini berlaku mulai 1 Maret 2023.
Selanjutnya, BI juga menerbitkan instrument Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang mana mempunyai tujuan utama menarik minat pemodal asing dengan imbalan menarik. Lelang SRBI yang dimaksud dimulai pada pertengahan September 2023 hingga tanggal 19 Desember berhasil mengakomodasi dana warga sebesar Rupiah 229 triliun.
Dari sekian berbagai dana yang digunakan berhasil diserap oleh BI, beberapa orang Mata Uang Rupiah 45,3 triliun dimiliki oleh pemodal asing. Instrumen yang sejatinya ditujukan untuk menarik penanam modal asing malah diserbu oleh penanam modal pada negeri.
Selain SRBI, bank sentral Indonesia juga menerbitkan instrumen Sekuritas Valuta asing Bank Indonesia (SVBI) kemudian Sukuk Valuta asing Bank Indonesia (SUVBI) guna menambah instrumen berdenominasi dolar Negeri Paman Sam di tempat di negeri. Lelang pertama berhasil dijalankan pada tanggal 21 November 2023.
Namun, apakah cukup langkah yang mana dijalankan oleh BI untuk menarik devisa ke pada negeri?
Melakukan Revisi Aturan yang mana Ada
Dalam beberapa kesempatan BI memperkirakan jikalau dana yang tersebut diperoleh dari kegiatan ekspor disimpan di tempat Singapura. Sistem perbankan yang tersebut ada dalam negara yang disebutkan sudah ada progresif lalu setara dengan pusat keuangan dunia seperti Tokyo, London, lalu New York.
Singapura menjadi hub bagi dana asing yang digunakan akan masuk ke Asia Tenggara. Banyak bank penanaman modal asing yang dimaksud beroperasi di tempat sana yang dimaksud siap menampung dana yang tersebut dihasilkan oleh eksportir Indonesia, tentu belaka dengan imbal hasil yang digunakan lebih banyak menarik.
Beragamnya instrumen yang digunakan ditawarkan oleh perbankan Singapura menjadikan daya tarik tambahan untuk menyimpan uang di area sana.
Hal ini tentu belaka berbeda dengan perbankan di tempat Indonesia yang digunakan menawarkan simpanan di valuta dolar Negeri Paman Sam dengan bunga yang mana rendah sebelum adanya instrumen penempatan DHE. Kurangnya khasiat bagi perbankan pada pada negeri untuk menyimpan valuta asing menjadi penyebabnya.
Jika ditelusuri lebih tinggi lanjut, kemungkinan hal ini disebabkan aturan yang digunakan dibuat oleh pemerintah kemudian BI sama-sama dengan DPR, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam aturan tersebut, diatur mengenai kewajiban penyelenggaraan Rupiah sebagai mata uang yang digunakan menjadi alat transaksi.
Setiap warga negara wajib menggunakan Rupiah jikalau bertransaksi dengan anggota rakyat lain pada wilayah NKRI.
Seorang pengusaha perusahaan yang tersebut memegang valas terpapar oleh risiko nilai tukar setiap saat. Oleh sebab itu diperlukan instrumen untuk manajemen risiko pada waktu menyimpan beberapa jumlah keseimbangan valas.
Instrumen hedging valas ketika ini belum berbagai tersedia di tempat Indonesia. Kalaupun tersedia, rate yang tersebut ditawarkan masih mahal.
Perbankan nasional masih tertinggal dibandingkan dengan bank di dalam Singapura pada hal ini. Transaksi Swap, Forward, juga Option mata uang menjadi hal yang tersebut lazim bagi perbankan di area sana.
Dalam rangka menambah persediaan dolar Negeri Paman Sam di tempat di negeri, pemerintah perlu duduk dengan dengan BI untuk mulai mengeksplorasi inovasi lebih banyak lanjut UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Perubahan aturan bukanlah sesuatu yang tersebut sakral untuk dilakukan.
Terbukti bahwa UU yang dimaksud telah pernah diubah sebagian dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 Pembangunan lalu Perkuatan Bidang Keuangan untuk mengakomodasi penyelenggaraan digital Rupiah. Pelonggaran aturan penyelenggaraan Rupiah di area pada negeri perlu dilaksanakan agar pelaku bisnis penghasil dolar Amerika Serikat dapat memperoleh keuntungan yang identik apabila menyimpan uangnya di dalam perbankan di negeri.
Beberapa hal yang tersebut diatur di UU yang dimaksud dapat disesuaikan, misalnya memberikan kelonggaran dengan menerapkan limit proses yang diijinkan menggunakan valuta selain Rupiah di rangka penyelesaian operasi perdagangan. Kedua, penyediaan cross rate untuk operasi di rangka mengakomodasi permintaan eksportir.
Kesimpulan
Koridor aturan yang tersebut dibangun pada tahun 2011 oleh pemerintah serta BI terkait pengaplikasian Rupiah di area pada negeri mulai terasa dampaknya terhadap NPI. Meskipun neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus selama 43 bulan beruntun, namun NPI tidak ada mengikuti surplus yang digunakan terjadi.
Selama dua kuartal terakhir, NPI setiap saat mengalami defisit. Berbagai upaya ditempuh oleh BI untuk menerbitkan berbagai instrumen keuangan yang tersebut baru seperti Penempatan DHE, SRBI, maupun SVBI dan juga SUVBI belum maksimal untuk menarik devisa dari luar negeri.
Hal ini perlu disertai oleh perbankan dengan menciptakan komoditas turunan seperti option, swap, forward, lalu lain-lain sebagai sarana lindung nilai bagi pemilik devisa tersebut. Jika hal yang disebutkan belum juga menarik para pelaku bisnis untuk menempatkan dolar dalam Indonesia, dapat dipertimbangkan untuk merevisi lagi UU Nomor 7 Tahun 2011 mengenai Mata Uang untuk kepentingan bersama.
Sumber: CNBC
GIPHY App Key not set. Please check settings