Di era digital yang digunakan sedang berkembang, gig economy muncul sebagai subjek pembahasan yang dimaksud menarik kemudian relevan. Model kegiatan ekonomi ini menyediakan prospek kerja yang mana adaptif, membolehkan orang bekerja secara lepas atau berkontrak melalui program atau platform online.
Perkembangan gig economy mengubah wajah tenaga kerja dengan menciptakan potensi kerja yang digunakan fleksibel, yang menarik bagi sejumlah orang, khususnya kalangan yang tersebut tidaklah terserap oleh lapangan kerja formal. Jumlah pekerja gig di tempat Indonesia diperkirakan mencapai banyak ribu hingga jutaan pekerja dan juga terus berkembang pada rentang waktu kurang dari 10 tahun terakhir, seiring dengan peningkatan sektor digital.
Kendati terus meningkat, fleksibilitas ini juga menyebabkan kerentanan, teristimewa pada hal pemeliharaan sosial bagi para pekerja gig. Apalagi, menurut laporan Bank Dunia, pekerja gig miliki kerentanan yang digunakan tambahan tinggi akibat tidaklah sepenuhnya terlindungi oleh skema proteksi sosial.
Kondisi ini juga memunculkan pertanyaan penting: “Seberapa jarak jauh pengamanan pemerintah terhadap pekerja gig perlu diwujudkan?” Pertanyaan ini menjadi sangat relevan di area berada dalam pembaharuan dinamika pangsa kerja. Mereka yang digunakan bekerja sebagai pengemudi transportasi daring juga freelancer di dalam sektor jasa lainnya seringkali ditemukan berada pada garis terdepan perekonomian tanpa jaring pengaman yang digunakan memadai.
Perlukah Intervensi Kebijakan?
Lalu seberapa berjauhan sebenarnya proteksi pemerintah terhadap pekerja gig perlu diwujudkan? Bisakah regulasi semata menyelesaikan permasalahan ini? Perlukah pekerja gig diatur untuk menjadi pekerja formal?
Pekerja gig rutin kali beroperasi pada basis paruh waktu dengan jam kerja yang digunakan fleksibel. Fleksibilitas ini sangat penting bagi mereka yang mana memiliki tanggung jawab lain seperti studi, kewajiban keluarga, atau bahkan keinginan untuk mengejar pekerjaan ganda. Fleksibilitas pekerjaan yang digunakan menjadi karakteristik pekerja gig menuntut pendekatan yang sebanding fleksibel di memberikan proteksi sosial.
Kebijakan yang mana kaku juga tradisional, yang dimaksud dirancang untuk pekerja dengan jam kerja serta penghasilan tetap, tidak ada cocok dengan realitas kerja pekerja gig. Oleh oleh sebab itu itu, diperlukan kerangka kerja yang digunakan memadai yang tersebut memperhatikan karakteristik unik dari pekerja gig. Permasalahan ini bukan sanggup diselesaikan dengan metode konvensional apalagi pendekatan tunggal yang mana cuma bertonggak pada regulasi ketenagakerjaan semata.
Daya Serap Gig-Economy
Pekerja gig mempunyai karakteristik yang unik lantaran pekerjaan ini memberikan solusi sementara bagi permasalahan klasik struktur tenaga kerja pada Indonesia yang mana masih didominasi pekerja informal. Jika dilihat dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari tahun 2015 hingga Agustus 2023, 60% pekerja pada Indonesia didominasi pekerja informal.
Pekerjaan formal belum mampu menarik angkatan kerja secara signifikan. Akibatnya angkatan kerja melirik sektor informasl, termasuk transportasi daring. Fleksibilitas lalu persyaratan yang digunakan tidak ada sesulit melamar pekerjaan formal memang sebenarnya menyebabkan skema pekerja gig menjadi sangat ideal bagi keperluan akan akses terhadap pendapatan
Data Sakernas sejak tahun 2015, memperlihatkan penurunan ekstrem dari tingkat pengangguran terbuka dalam kota-kota besar pada Indonesia, seperti DKI Jakarta, sejak munculnya dunia usaha digital yang didominasi oleh pertumbuhan transportasi, logistik, serta jasa antar makanan daring. Fakta BPS menunjukkan tingkat pengangguran di tempat Jakarta, meskipun tren penurunannya dimulai pada awal tahun 2006, namun berkurang tajam setelahnya beroperasinya aplikasi mobile ojek daring pada tahun 2014.
Dari tahun 2011 hingga 2014, tingkat pengangguran dalam Ibukota Indonesia berkisar 11%, bilangan yang disebutkan berkurang tajam menjadi 5,79% pada tahun 2018. Kondisi mirip juga terjadi pada tingkat nasional, dimana tingkat pengangguran merosot seiring dengan berkembangnya transportasi daring. Namun hal ini tak berarti solusi sementara yang disediakan melalui gig-economy ini dapat menjadi jawaban utama dari permasalahan klasik tersebut.
Formalisasi pekerja gig pada dasarnya tidaklah mampu dilihat dari kacamata kesejahteraan kemudian hubungan kerja semata. Karena pada dasarnya menjamurnya pekerja gig merupakan hasil dari permasalahan yang tersebut lebih lanjut mendalam, yaitu minimnya lapangan kerja formal. Sehingga memformalkan pekerja gig tidaklah menyelesaikan permasalahan utama dari permasalahan ketenagakerjaan di area Indonesia, melainkan belaka akan mengakibatkan kesulitan baru.
Jika tidak ada hati-hati, upaya untuk memformalkan pekerja gig justru bisa saja menjadi bumerang terhadap upaya konstruksi perekonomian Indonesia secara menyeluruh.
Belum lagi dengan masih meruginya beberapa perusahaan rintisan yang dimaksud menghasilkan formalisasi pekerja gig berpotensi mempersempit ruang gerak perusahaan-perusahaan tersebut. Bukan tidaklah kemungkinan besar langkah konvensional untuk memformalkan para pekerja gig akan ditindaklanjuti dengan pengurangan jumlah agregat mitra atau pekerja lepas yang tersebut diakomodasi oleh platform.
Jebakan Formalisasi Pekerja Gig
Formalisasi pekerja gig juga mengakibatkan risiko terjadinya jebakan pekerjaan dengan keterampilan rendah atau low-skilled labor trap. Ini adalah isu signifikan di gig economy, khususnya pada kalangan pengemudi daring, baik ojol maupun taksi daring.
Jebakan ini muncul ketika pekerjaan yang digunakan tersedia tak memerlukan pengembangan keterampilan yang dimaksud bisa saja meningkatkan prospek kerja atau pendapatan individu di area masa depan. Artinya pekerja gig kemungkinan besar terjebak pada pekerjaan dengan sedikit kesempatan untuk meningkatkan kualifikasi mereka.
Dalam konteks pengemudi daring, hal itu diperparah oleh struktur lembaga pendidikan yang dimaksud mendominasi dalam antara mereka. Fakta bahwa sebagian besar pengemudi berasal dari sekolah menengah melawan (SMA) ke bawah menunjukkan bahwa banyak dari merek mungkin saja tak miliki akses ke pelatihan lanjutan atau institusi belajar tinggi yang tersebut dapat membuka lebih tinggi banyak kesempatan kerja.
Pekerjaan gig bisa saja menopang keperluan sehari-hari, tapi tanpa peningkatan kualifikasi, pekerjaan ini belum sepenuhnya menjadi opsi pendapatan yang mana berkelanjutan apabila tak ada dukungan dari pemerintah untuk pengembangan mereka. Keterbatasan pada institusi belajar ini tidak hanya saja menurunkan akses ke pekerjaan yang digunakan tambahan berkualitas lalu berpendapatan tambahan tinggi, tetapi juga mengempiskan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan inovasi di tempat lingkungan ekonomi kerja.
Kebijakan yang dibutuhkan oleh kelompok pekerja gig adalah insentif dan juga infrastruktur yang tersebut dapat memacu merek agar bisa saja “naik kelas” dan juga mendapatkan pekerjaan dengan tingkat kemampuan yang mana lebih tinggi tinggi. Upskilling merupakan hal yang paling mendesak dihadirkan oleh pemerintah. Memaksakan formalisasi pekerja gig melalui regulasi, justru berpotensi menghurangi daya tarik bagi pekerja gig untuk mengembangkan kemampuan juga penghasilan yang dimaksud lebih tinggi mapan juga berkelanjutan.
Kolaboratif juga Inovatif
Pada akhirnya, menangani permasalahan jebakan pekerjaan dengan keterampilan rendah memerlukan pendekatan holistik, menggabungkan pendidikan, pelatihan, serta kesempatan kerja yang tersebut lebih banyak baik.
Butuh upaya kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun platform, untuk berinovasi menyediakan inisiatif pengembangan kualifikasi juga keterampilan para pekerja gig yang mana setidaknya fokus pada tiga hal: pendapatan berkesinambungan, pengelolaan keuangan yang baik, dan juga pengembangan skill juga pengetahuan.
Selain itu, pekerja gig membutuhkan pemeliharaan sosial yang tersebut sesuai dengan kondisi kerja merek yang digunakan serba tidak ada pasti. Aspek-aspek seperti asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, dan juga dana pensiun harus diberikan pada paket yang digunakan fleksibel dan juga dapat disesuaikan. Hal ini berarti bahwa pekerja gig dapat memilih untuk berkontribusi pada skema proteksi sosial dengan cara yang dimaksud sesuai dengan aliran pendapatan dia yang digunakan fluktuatif.
Platform gig memiliki peran penting pada menemukan solusi inovatif untuk kesulitan ini. Mereka dapat berinovasi dengan cara mengintegrasikan opsi proteksi sosial ke di platform digital mereka, misalnya, dengan menyisihkan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk asuransi atau dana darurat.
Dengan memanfaatkan teknologi dan juga data, platform–platform ini dapat menawarkan solusi yang tersebut disesuaikan dengan keperluan individu pekerja, memungkinkan mereka itu menabung atau berinvestasi pada pengamanan sosial dengan cara yang digunakan mereka itu pilih.
Perlindungan sosial yang tersebut fleksibel serta inovatif bukanlah pilihan-tapi keharusan. Masa depan kerja yang mana aman untuk pekerja gig tergantung pada kemampuan kita untuk menyesuaikan sistem yang ada dengan realitas baru dari pekerjaan mereka.
Kebijakan yang fleksibel serta inovatif, sama-sama dengan komitmen dari platform gig untuk mengembangkan solusi kreatif, akan melakukan konfirmasi bahwa pekerja gig tiada hanya sekali bertahan, tapi juga tumbuh di kegiatan ekonomi gig yang terus berkembang. Kita harus mengakui bahwa gig economy bukanlah anekdot sementara pada narasi pekerjaan, melainkan sebuah bab penting yang sedang ditulis ulang.
Sumber: CNBC
GIPHY App Key not set. Please check settings